Klaim Natuna Tak Boleh Dipandang Sebelah Mata

06-01-2020 / KOMISI I
Anggota Komisi I DPR RI Syaiful Bahri Anshori. Foto : Istimewa

 

Anggota Komisi I DPR RI Syaiful Bahri Anshori menegaskan persoalan Natuna yang diklaim sepihak oleh Tiongkok tidak boleh dipandang sebelah mata karena menyangkut kedaulatan NKRI. Ia juga meminta semua pihak agar bersikap jernih dengan tidak mengesampingkan masalah kedaulatan NKRI dengan kepentingan lainnya.

 

"Saya tidak sependapat dengan pernyataan seorang pejabat yang mengatakan persoalan Natuna ini jangan dibesar-besarkan. Bagi saya persoalan Natuna ini tanpa dibesarkan memang persoalan besar karena menyangkut kedaulatan RI," papar Anshori dalam keterangan persnya, Sabtu (4/1/2020).

 

Anshori menegaskan pemerintah dan seluruh warga negara harus hadir membela kedaulatan di perairan Natuna karena kedaulatan NKRI adalah harga mati. Terutama, instrumen negara harus hadir secara fisik disana untuk melakukan pengawasan secara efektif. 

 

Ia juga mendorong Presiden Joko Widodo secara aktif melakukan lobi internasional serta memperkuat diplomasi untuk menjaga kedaulatan NKRI. "Pemerintah Indonesia harus mengawal dan secara tegas melakukan penolakan atas klaim Tiongkok melalui nota diplomatik yang menjelaskan posisi dan sikap Indonesia yang tegas," jelasnya.

 

Politisi PKB ini menuturkan Indonesia berhak melakukan protes keras terhadap klaim sepihak tersebut. Hal ini dapat dilihat dari berbagai spektrum argumentasi yang valid dan kredibel baik menurut hukum internasional maupun argumentasi historis laut Natuna. "Jika perlu melakukan gugatan arbitrase internasional melalui mekanisme hukum internasional atas pelanggaran atas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia," tuturnya.

 

Secara historis, Natuna terdiri dari tujuh pulau, dengan Ibu Kota di Ranai. Pada abad 19, Kesultanan Riau menjadi pulau pengawal yang berada di jalur strategis pelayaran internasional tersebut. Setelah Indonesia merdeka, delegasi dari Riau ikut menerima kedaulatan di Republik Indonesia yang berpusat di Jawa. Pada 18 Mei 1956, Indonesia resmi meminta kepulauan itu sebagai wilayahnya ke PBB.

 

Dari klaim sejarah tersebut, Indonesia telah membangun pelbagai infrastruktur di kepulauan seluas 3,420 kilometer persegi ini. Etnis Melayu jadi populasi dominan, mencapai 85 persen, disusul Jawa 6,34 persen, lalu Tionghoa 2,52 persen. "Sehingga berdasarkan fakta kesejarahan tersebut, klaim Tiongkok tidak mempunyai dasar historis apapun atas laut Natuna, selain kepentingan ekonomi akan kekayaan gas alam di Natuna," terangnya.

 

Sementara dari aspek regulasi,  ZEE atas Natuna sudah didaftarkan menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia dan sesuai dengan hukum laut internasional (United Nations Convention for the Law of the Sea) atau Konvensi Hukum Laut PBB merupakan lembaga yang menetapkan batas ZEE. (ann/es)

BERITA TERKAIT
Indonesia Masuk BRICS, Budi Djiwandono: Wujud Sejati Politik Bebas Aktif
09-01-2025 / KOMISI I
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Budisatrio Djiwandono menyambut baik masuknya Indonesia sebagai anggota BRICS. Budi juga...
Habib Idrus: Indonesia dan BRICS, Peluang Strategis untuk Posisi Global yang Lebih Kuat
09-01-2025 / KOMISI I
PARLEMENTARIA, Jakarta - Keanggotaan penuh Indonesia dalam aliansi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) menjadi isu strategis yang...
Amelia Anggraini Dorong Evaluasi Penggunaan Senjata Api oleh Anggota TNI
08-01-2025 / KOMISI I
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini mendorong evaluasi menyeluruh penggunaan senjata api (senpi) di lingkungan TNI....
Oleh Soleh Apresiasi Gerak Cepat Danpuspolmal Soal Penetapan Tersangka Pembunuhan Bos Rental
08-01-2025 / KOMISI I
PARLEMENTARIA, Jakarta - Tiga anggotaTNI Angkatan Laut (AL) diduga terlibat dalampenembakan bos rental mobil berinisial IAR di Rest Area KM...